First of All..................................

Motivasi bagi diriku adalah kebutuhan, mendengarkan,belajar dan mempelajari memikirkan ucapan, tulisan orang2 bijak yang diberi kelebihan yang Maha Kuasa kemampuan mencerahkan adalah menjadi bagian penting dalam hidupku. Dengan kerendahan hati, mohon maaf & mohon keridhaan dan keikhlasan siapapun, tanpa maksud plagiat or dll., hanya bermaksud berbagi dengan teman/sahahat, apa yang saya tulis sejujurnya tidaklah semua hasil pemikiranku tetapi barangkali lebih banyak diambil dari jagad dunia maya yang aku sendiri lupa siapa penulisnya (sumbernya). Tulisan ini just for personal-motivation, jika ada yang membaca dan berpikir bahwa tulisan ini baik & berguna : (dipersilahkan) smoga….smoga…smoga…..bermanfaat.

Kamis, 03 Juni 2010

Cinta dan Kehidupan

Plato bertanya akan cinta dan kehidupan

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan
tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta” .

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”.
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan
berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”

Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?
Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu
menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa
saja. Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”
Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku
lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”

Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”

NOTE
Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan… tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.

Terimalah cinta apa adanya.

Pernikahan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kita mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk
mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kita dapatkan, maka sia2lah waktumu dalam mendapatkan pernikahan itu, karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya

[ Sumber: embah internet ]

KEBANYAKAN ORANG TIDAK SUKA MENJADI KAYA

Sudah ratusan kali dari ratusan pertemuan yang saya hadiri, saya mendengar pertanyaan,”Anda ingin sukses? Anda ingin kaya?”, dari presenter, impact parade bintang, training distributor baru dsb. Pertanyaan klasik jawabannya juga klasik. Pasti disambut dengan koor ”Ingiiiiin....!!” Kadang-kadang pertanyaan itu dilanjutkan lebih menukik,”Anda yakin sukses?”. Jawaban koor masih terdengar, ”Yakiiin...!! , tapi kali ini ada beberapa suara yang hilang. Mungkin tidak yakin atau kurang antusias. Kalau pertanyaan ini diajukan lebih dalam lagi,”Apakah Anda berani membayar harganya?”, jawaban setengah koor dengan nada yang lebih rendah pun menyambut,’ Beraniiii...!!”.


Kontradiksi biasanya terjadi disini, ada yang berteriak lantang ada pula yang sayup-sayup nyaris tak terdengar. Sayang tidak pernah ada pertanyaan yang lebih dalam dari itu. Tetapi dari tiga pertanyaan dengan derajat konsekuensi yang semain berat tersebut kita bisa melihat, semakin berat tantangan semakin teruji apakah seseorang benar-benar ingin dan yakin? Saya yakin, jika ada pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam, pasti yang berani menjawab makin sedikit bahkan jika terus digali lebih dalam mungkin tidak ada yang berani menjawab.

Karena ingin menggali lebih dalam apakah seseorang memiliki keyakinan, saya mencoba bertanya ke leader-leader di beberapa home sharing. Saya memulai dengan pertanyaan sama,”Apakah Anda yakin sukses dan kaya?”. Anda pasti tahu jawabannya khan. Saya lanjutkan dengan pertanyaan,”Siapa yang pernah melihat orang kaya berperilaku menyebalkan?”. Mudah ditebak, semuanya menjawab ”Pernah”. Saya lanjutkan lagi,” Siapa yang pernah saat melihat itu mengatakan ’mentang-mentang kaya sombong’?”. Ternyata jawabannya sama, semuanya pernah. Untuk merechek keyakinan mereka, saya ulangi pertanyaan dengan contoh lain,”Siapa yang pernah disambar mobil lux lalu mengatakan ’mentang-mentang kaya atau mentang-mentang punya mobil mewah sembarangan aja...”. Alhasil, jawabannya pun sama, semuanya pernah.

Di pertemuan yang lain, saya menanyakan kepada leader-leader,”Siapa yang Anda anggap memiliki keyakinan sukses paling besar disini?” Mereka lalu menunjuk seorang leader yang selalu tampir luar biasa di setiap pertemuan, antusias dan energik kapanpun juga, dan menunjukkan kerja keras yang fokus dan ngotot. Sayapun menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti diatas. Ternyata,..... sami mawon. Jawabannya nggak ada beda.

Sampai disini bisakah Anda melihat kejanggalannya? Sepertinya semua biasa-biasa saja. Yah, segala sesuatu nampak biasa-biasa saja jika kita tidak melakukan perbandingan–perbandingan sampai menemukan asosiasi yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan tadi kebetulan baru sempat saya tanyakan kepada jaringan saya yang semuanya kelas menengah ke bawah. Andaikata saja pertanyaan yang sama saya ajukan kepada orang-orang The have, apakah jawabannya sama? Saya yakin tidak. Setidaknya saya pernah bersama orang-orang agak The have, yang mengomentari perilaku orang sekelasnya.
Saat mereka disambar mobil sekelasnya misalnya sesama Innova, apa komentar mereka? Salah satunya seperti ini,”Pakai mobil sembarangan, memangnya dibeli pakai daun?”.

Anda lihat bedanya? Respon mereka beragam, tapi dapat dipastikan mereka tidak mengaitkan dengan kekayaan karena mereka satu kelas. Sebagai sesama satu kelas mereka tahu, tidak semuanya sombong dan pakai mobil sembarangan, minimal diri mereka sendiri. Tapi mereka juga bisa jadi berkomentar sama dengan orang miskin yang tidak memiliki mobil, jika Innova mereka disambar Phorsche seharga Rp. 1,5 M. Karena kalah kelas, mereka pun mengasosiasikan kekayaan dengan kesombongan. Mari kita berandai-andai lebih jauh. Jika pemilik mobil Ferrari sport seharga Rp 5 M, tiba-tiba disambar oleh Phorsche tadi, apakah pemilik Ferrari akan mengatakan,”Mentang-mentang orang kaya.....” ?” Tidak mungkin khan. Dalam pikiran bawah sadar secara reflek mereka berkata,”Saya yang lebih kaya saja tidak sembarangan pakai mobil”.

Ternyata nilai-nilai kekayaan berkorelasi positif dengan kelas sosial. Nilai kekayaan menjadi negatif hanya terjadi jika seseorang yang lebih miskin menilai yang lebih kaya. Kalau begitu manakah yang lebih tepat, apakah kekayaan yang bersifat negatif? Ataukah negatif terhadap kekayaan sebetulnya hanyalah perwujudan rasa iri bahkan dengki? Waktu saya SMA, ada istilah gaul STTM, apa itu? Sirik Tanda Tak Mampu. Rasanya STTM ini tepat untuk saat ini. Hati-hati, apakah Anda termasuk STTM?

Karena itu saya biasanya melanjutkan dengan pertanyaan,”Siapa yang pernah melihat orang miskin menyebalkan? Mana yang lebih banyak sombong, orang miskin atau orang kaya?”. Jelas orang miskin, lha wong orang kaya jumlahnya sedikit. Saya juga menambahkan pertanyaan,”Siapa yang pernah disambar motor ceketer yang mengeluarkan asap tebal?” Mungkin Anda sepakat, semuanya menjawab ”ya”. Satu pertanyaan lagi,”Lebih sering mana, disambar ceketer atau mobil lux?”

Artinya apa? Orang kaya sombong ada, orang miskin sombong ada. Orang kaya menyebalkan ada, orang miskin menyebalkan juga ada. Mobil mewah asal nyambar ada, motor ceketer main sambar juga ada. Kesimpulannya sombong, menyebalkan, main sambar dan bentuk-bentuk lainnya tidak memiliki korelasi dengan kekayaan atau kemiskinan. Orang sombong, ya dasar sombong aja. Jadi orang miskin sombong, jadi kaya juga sombong. Ada juga orang yang miskin baik dan setelah kaya tetap juga baik. Pertanyaannya, mengapa kita seringkali mengasosiasikan kekayaan dengan nilai-nilai yang tidak baik?

Sejak dilahirkan, kita secara sadar atau tidak, menginternalisasi nilai-nilai sosial di lingkungan kita. Celakanya, selalu ada nilai-nilai tidak benar tetapi menjadi dominan sehingga diyakini kebenarannya. Dan jika berhubungan dengan kekayaan, banyak sekali nilai-nilai kelas menengah kebawah yang negatif. Di kampung saya, beberapa orang kaya dihubungkan dengan tuyul atau pesugihan. Sebagian lagi diidentifikasi tidak ’gaul’ alias sombong. Tentu saja, orang kaya tersebut punya nilai lain yang sama benarnya, yaitu produktivitas. Kalau waktu yang ada bisa dimanfaatkan secara produktif, ngapain kumpul-kumpul yang tidak jelas pembicaraannya?

Sayangnya nilai-nilai tersebut di era modern justeru malah direproduksi secara masal melalui media masa. Lihatlah sinetron yang begitu banyak menyedot perhatian pemirsa, sangat banyak sinetron yang mengisahkan orang kaya menzalimi orang miskin, atau kisah-kisah orang kaya yang berhubungan dengan kekuatan mistik. Liputan-liputan tentang selebritis juga banyak mengekspose bagian-bagian hidup yang negatif seperti konflik rumah tangga, selingkuh, kekerasan, gugat-menggugat dsb.
Demikian juga liputan tentang tokoh-tokoh negeri yang tak jauh beda. Korupsi, selingkuh, merampas hak rakyat dan sebagainya.
Liputan seperti ini tidak salah bahkan sebagian juga dibutuhkan, tetapi sayangnya tidak proporsional dengan sosialisasi nilai-nilai positif. Sedikit sekali tayangan TV yang menyorot profil sukses dan mengupas detail bagaimana perjuangan mereka menuju sukses. Alasannya simple, rating..!! Rating acara TV, menunjukkan nilai-nilai masyarakat yang dominan. Sebagai organisasi bisnis yang hanya peduli profit, TV lebih mementingkan memenuhi selera rendah masyarakat dibanding menjalankan fungsi edukatif. Jadilah lingkaran setan. Semakin TV melayani kebutuhan ’selera rendah’, semakin terjun ’selera rendah’ masyarakat, akibatnya semakin banyak TV memproduksi tayangan-tayangan tersebut. Begitu seterusnya.

Pengulangan yang terus berulang sampai dewasa, membuat nilai-nilai tersebut melekat demikian kuat di pikiran bawah sadar dan muncul sewaktu-waktu tanpa kita menyadarinya. Nah, lalu apa hubungannya dengan keyakinan untuk sukses dan kaya? Sekarang bayangkan, pikiran Anda adalah orang lain yang ada di depan Anda, lalu katakan kepadanya, ”Hai pikiran, tahukah kamu bahwa kekayaan itu penyebab banyak hal-hal buruk, kekayaan itu membuat orang sombong, kekayaan membuat toleransi rendah, kekayaan membuat sekat sosial lebih tebal.” Selama 20 tahun lebih katakan berulang-ulang kepadanya setiap hari. Kemudian suatu hari katakan kepadanya, ”Hai pikiran, saya ingin kaya, saya ingin sukses. Bantu saya untuk mengejar kekayaan itu. Saya akan menggunakannya untuk tujuan-tujuan mulia dalam hidup saya”.

Menurut Anda apa yang akan dilakukan pikiran? Terang aja pikiran jadi bingung. ”Dari dulu saya diberitahu bahwa kekayaan itu penyebab kejahatan kok mendadak sekarang diminta membantu kaya untuk melakukan hal-hal mulia? Ah, mungkin main-main ini, biarin aja”. Hal itulah yang terjadi di pikiran Anda dan juga saya. Hari ini begitu banyak leader memiliki keyakinan untuk sukses dan kaya. Dan jika mereka ditanya, apakah kaya itu penting? Pasti mereka menjawab sangat-sangat penting. Jika ditanyakan apakah kaya itu baik? Jawaban mereka juga pasti positif. Tetapi kenyataannya pikiran sadar dan pikiran bawah sadar mereka tidak kongruen. Dan jangan terkejut dan kecewa, menurut teori pikiran, Jika pikiran sadar dan bawah sadar bertentangan maka pikiran bawah sadarlah yang akan menang

Dengan kata lain, jika pikiran bawah sadar kita meyakini bahwa kaya itu jahat, pikiran kita akan bekerja membantu kita menjauhi kekayaan, alias tetap miskin..!!

Transformasi Nilai

Nilai-nilai terhadap kekayaan yang negatif ini tertanam begitu dalam dan kuat, kita tidak bisa membiarkannya hilang dengan sendirinya. Untuk menonaktifkan nilai-nilai ini, kita bisa melakukannya dengan berusaha menggali lebih banyak lagi nilai-nilai tersembunyi yang mengaitkan kekayaan dengan kejahatan. Untuk menyadari nilai-nilai ini tidaklah mudah dan bisa dilakukan seketika. Seringkali kita baru menyadarinya saat kita merespon peristiwa tertentu yang berhubungan dengan penilaian terhadap kekayaan. Karena itu, ada baiknya saat menyadari nilai-nilai tersebut muncul, kita harus segera meralat kata-kata dan menggantinya dengan kalimat positif. Langkah selanjutnya agar tidak terulang lagi kita mencatatnya dan segera mencatat keyakinan baru yang positif untuk menggantikannya.

Untuk ilustrasi, bisakah Anda mengganti kopi dalam cangkir dengan susu murni tanpa mengangkat cangkirnya? Misalkan Anda menuangkan susu murni satu cangkir, apa yang Anda lihat? Tepat, cangkir itu berisi kopi susu. Bagaimana kalau 5 gelas susu?
Kali ini kopinya tinggal sedikit, tepatnya kita sebut susu kopi. Bagaimana kalau 1 galon susu kita tuangkan? Luar biasa, kali ini Anda sukses. Cangkir itu betul-betul berisi 100% susu murni segar. Hal yang sama juga terjadi dengan pikiran dan kesuksesan Anda. Jika pikiran Anda masih berisi kopi dan Anda baru menuangkan sedikit susu, anda hanya mengalami sedikit kemajuan dalam kekayaan. Jika keinginan Anda menggebu-gebu untuk sukses dan kaya tanpa Anda tambahkan susunya, Anda akan menghadapi begitu banyak hambatan-hambatan menjadi kaya. Karena itu tuangkan setiap hari susu kedalam pikiran Anda.

Untuk menguatkan daftar keyakinan yang baru tersebut, Anda bisa melakukan incantation dan reprogramming secara terus menerus.
Incantation adalah mengucapkan ’mantra-mantra’ tertentu dengan emosi yang kuat sambil melakukan gerakan-gerakan misalnya sambil berlari. Sementara reprogramming adalah upaya yang dilakukan secara sistematis untuk menonaktifkan program lama yang tidak mendukung kesuksesan dan mengaktifkan program-program pikiran baru yang mendukung kesuksesan. Untuk memahami kedua hal penting tersebut sebaiknya Anda membaca buku Financial Revoluton (Tung Desem Waringin) dan Becoming a Money Magnet (Adi W Gunawan dan Ariesandi). Untuk membantu secara praktis, saya juga menyarankan Anda memiliki CD Hypnotherapy for Goal Setting, yang dirancang oleh pakar hipnosys terbaik di Indonesia, Romy Rafael atau CD Hypnosys di buku The Secret of Mindset (Adi Gunawan)

SUDAH SIAPKAH ANDA MENJADI KAYA?

[sumber : simbah internet]

BERSAHABAT DENGAN MASALAH

“If a problem doesn’t kill you, it will make you stronger.”


Seorang kawan mengeluh, “Pak, saya kok sering kena masalah ya? Padahal saya ini sudah rajin berdoa, selalu positive thinking, tidak pernah bikin susah orang lain, suka menolong orang lain, jujur dalam bekerja, dan nggak neko-neko. Kenapa ya Pak? Apa masalah saya? Saya sudah bosan kena masalah terus.”

“Wah, selamat ya,” balas saya.

“Lho, bagaimana sih Pak Adi ini. Saya punya banyak masalah kok malah diberi selamat. Senang ya Pak kalau lihat orang susah?” kawan saya balik bertanya dan agak jengkel.

“Sabar…sabar. .. bukan begitu maksud saya. Jangan tersinggung dong,” jawab saya cepat sambil berusaha menenangkan kawan saya ini.

Nah, pembaca, apa yang saya tulis di artikel ini merupakan hasil obrolan saya dan kawan saya.

Masalah. Setiap orang pasti punya masalah. Setiap hari kita pasti berhadapan dengan masalah. Kita berusan dengan masalah. Kita mendapat masalah. Kita membuat masalah. Kita bahkan bisa jadi sumber masalah. Masalah terbesar adalah kalau kita tidak tahu bahwa masalah kita adalah kita merasa tidak punya masalah.

Pembaca, waktu Anda mengalami masalah, bagaimana reaksi Anda? Apakah Anda marah? Jengkel? Sakit hati? Frustrasi? Takut? Menyalahkan diri sendiri? Atau Anda cenderung untuk menyalahkan orang lain?

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa saya menggunakan judul “Bersahabat Dengan Masalah”. Apa nggak salah, nih? Kita kok diminta bersahabat dengan masalah?

Benar. “Masalah” sebenarnya adalah hal yang sangat positif. Mari kita bahas terlebih dahulu makna di balik kata “masalah”. Masalah, yang dalam bahasa Inggris adalah “problem”, ternyata mempunyai akar kata yang maknanya sangat berbeda dengan yang kita pahami selama ini.

Akar kata “problem” berasal dari bahasa Yunani, proballein, yang bila ditelusuri lebih jauh mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw. Jadi, problem berarti bergerak maju. Problem berarti kesempatan untuk maju dan berkembang.

Sewaktu pertama kali mengetahui bahwa akar kata problem, proballein, artinya bergerak maju, saya sempat terhenyak dengan perasaan kaget dan takjub. Sungguh luar biasa dan sungguh benar. Coba kita renungkan bersama. Masalah sebenarnya adalah suatu simtom yang menunjukkan adanya suatu penyebab atau akar masalah. Justru dengan seringnya seseorang mendapat “masalah”, bila orang ini cukup bijak dan jujur pada dirinya sendiri, ia akan berkembang dan bisa lebih maju.


Lha, kok bisa begini?

Pernahkah Anda, atau mungkin orang yang Anda kenal, mendapat atau mengalami masalah?

Jawabannya, “Sudah tentu pernah.”

Pertanyaan saya selanjutnya, “Apakah masalah yang dialami Anda mirip dengan masalah sebelumnya?”

Jika kita mau bersikap jujur dan jeli dalam mengamati maka seringkali masalah yang kita alami sifatnya “mengulang” masalah sebelumnya. Ada kemiripan atau kesamaan. Bentuk masalahnya bisa berbeda namun polanya sama.

Satu contoh. Ada seorang wanita yang putus dengan pacarnya. Ia marah, kecewa, sakit hati, dendam, dan bersumpah akan mencari pasangan yang jauh lebih baik. Namun kenyataannya? Ia mendapatkan pacar baru yang mempunyai karakter yang serupa dengan mantan pacarnya.

Ada lagi seorang pengusaha besar, kawan saya, berulang kali kena tipu. Sekali kena tipu jumlahnya nggak main-main. Bukan puluhan juta tapi ratusan juta. Dan ini terjadi berulang kali.

Seorang kawan yang lain seringkali ribut dengan istrinya hanya karena hal-hal sepele. Misalnya hanya karena si istri memencet pasta gigi tidak dari bawah, tetapi dari tengah, ia marah besar. Sebaliknya si istri walaupun telah diberitahu suaminya tetap mengulangi pola perilaku yang sama.

Masalah yang kita hadapi sebenarnya menunjukkan “level” kita. Siapa diri kita sebanding dengan masalah yang kita hadapi. Bukankah ada tertulis bahwa Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita untuk mengatasinya? Dan setiap masalah pasti ada jalan keluarnya?

Masalah atau problem sebenarnya guru sejati yang seringkali kita abaikan. Kebanyakan orang mengalami masalah yang serupa atau berulang karena mereka tidak belajar dari masalah yang pernah mereka alami.

Ibarat anak sekolah bila kita tidak naik kelas, karena nilai ujian kita jelek, maka kita akan mengulang di level atau kelas yang sama. Tidak mungkin guru akan menaikkan kita ke kelas berikutnya. Mengapa? Lha, soal ujian di level ini saja kita nggak lulus apalagi kalau diberi soal ujian level di atasnya.

Kita harus mengulang, tidak naik kelas, dengan harapan kita akan belajar, meningkatkan diri, dan akhirnya mampu mengerjakan soal ujian dengan benar. Dengan demikian kita “lulus” ke kelas berikutnya.

Saat tidak naik kelas, bukannya belajar dari “masalah” ini, banyak yang malah membuat masalah baru dengan menjadi marah, frustrasi, dan menyalahkan guru atau sekolah. Anda pernah bertemu dengan orang seperti ini?

“Ah, itu kan anak sekolah. Memang harusnya begitu,” ujar kawan saya.

Lho, kita ini kan juga anak sekolah. Kita sekolah di Sekolah Kehidupan. Kehidupan adalah tempat kita belajar. Untuk maju kita harus menjadi pembelajar seumur hidup atau life long learner.

Ada yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Saya kurang setuju dengan pernyataan ini. Menurut saya pengalaman adalah guru terbaik bila itu pengalaman orang lain. Jadi, kita belajar dan mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan dengan menelaah dan mempelajari pengalaman orang lain dan kita terapkan untuk kemajuan hidup kita. Lha, lebih baik mana, Anda kena tipu Rp 1 miliar atau Anda belajar dari pengalaman orang lain yang tertipu Rp1 miliar dan Anda gunakan pengetahuan ini untuk melindungi diri Anda agar tidak mengalami masalah yang sama?

Pengalaman adalah guru yang terbaik bila kita dapat memetik pelajaran berharga dari apa yang kita alami. Kebanyakan orang mengalami “pengalaman” hanya sekadar mengalami. Mereka tidak memetik pelajaran atau manfaat apa pun dari pengalaman (baca: masalah) mereka.

OK. Sekarang sudah jelas bahwa kita bisa belajar dari masalah. Tapi bagaimana caranya?


Ada empat langkah mujarab untuk mengatasi setiap masalah dalam hidup:

1. Mengakui adanya masalah

2. Setiap masalah pasti ada sumber atau akar masalahnya

3. Bila akar masalah ditemukan maka masalah dapat dipecahkan

4. Jalan keluar untuk menyelesaikan masalah


Contoh konkritnya?

Mari kita analisis kasus yang dialami kawan saya. Itu lho, yang bolak-balik kena tipu ratusan juta rupiah.

Langkah pertama adalah mengakui atau menerima bahwa ia punya masalah. Ia harus berani mengakui dan memutuskan untuk mengubah hal ini. Masalahnya adalah ia berkali-kali kena tipu. Banyak orang yang bila mendapat masalah, hanya bisa berdoa, pasrah, nrimo, dan berkata bahwa masalah mereka adalah bentuk cobaan dari Tuhan. Mereka meyakini bahwa masalah yang mereka alami, karena merupakan cobaan dari Tuhan, maka Tuhan-lah yang harus mengubah keadaan ini. Saya tidak setuju dengan pandangan ini. Bukankah ada tertulis bahwa Allah tidak akan membantu mengubah nasib umat-Nya apabila umat-Nya tidak bersedia mengubah nasib mereka sendiri.


Langkah kedua adalah memahami bahwa masalah (simtom) yang ia alami pasti ada sumber atau akar masalah. Dan akar masalahnya bukan terletak di luar dirinya, misalnya ia tertipu karena kelihaian si penipu dalam meyakinkan dirinya sehingga mau meminjami uang, tapi akar masalahnya terletak di dalam dirinya.


Langkah ketiga, bila akar masalah yang ada di dalam dirinya berhasil ditemukan, maka ia dapat mengatasi masalahnya.


Langkah keempat adalah memilih solusi terbaik yang akan digunakan dalam mengatasi masalah. Setelah sukses melakukan empat langkah di atas maka ia dapat memetik hikmah dari apa yang ia alami.


Sekarang akan saya uraikan langkah demi langkah yang dilakukan kawan saya.

Langkah 1. Masalah: Saya tertipu ratusan juta berkali kali.

Langkah 2. Saya menyadari bahwa akar masalah terletak di dalam diri saya.

Langkah 3. Akar masalah saya adalah belief yang menyatakan bahwa saya adalah kasirnya Tuhan.

Langkah 4. Saya mengubah belief saya, dari kasirnya Tuhan menjadi Fund Manager uangnya Tuhan. Saya akan mengelola uang yang dipercayakan kepada saya dengan hati-hati karena saya harus mempertanggungjawab kan uang ini setiap akhir tahun buku.

Hikmah yang didapat dari masalah ini adalah bahwa apa yang ia alami dipengaruhi oleh belief-nya. Setiap belief mengakibatkan konsekuensi tertentu. Cara paling tepat untuk mengevaluasi apakah suatu belief bermanfaat atau justru merugikan diri kita bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh belief-belief itu terhadap hidup kita.

Selama seseorang masih tetap memegang belief yang sama maka ia akan mendapat hasil yang sama. Tidak mungkin terjadi seseorang mendapat hasil yang berbeda dengan belief yang sama. Einstein menjelaskan dengan sangat tepat saat ia berkata, “Insanity is doing the same thing over and over but expecting different result.”[awg]


Sumber: Bersahabat Dengan Masalah oleh Adi W. Gunawan. Adi W. Gunawan lebih dikenal sebagai Re-Educator and Mind Navigator, adalah pakar pendidikan dan mind technology, pembicara publik, dan trainer yang telah berbicara di berbagai kota besar di dalam dan luar negeri.



life is long education

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM. TETAP MELANGKAH, MENYUSURI JALAN SAMBIL MELIHAT DAN BELAJAR MENGAMBIL HIKMAH.....

Mengukur FQ (Financial Quotient / Kecerdasan Finansial)

Setelah IQ (Intellectual Quotient ), EQ (Emotional Quotient ), SQ(Spiritual Quotient), sekarang ada FQ (Financial Quotient). Kecerdasan finansial adalah kemampuan seseorang untuk mendayagunakan kemampuan pribadinya dalam mendapatkan dan mengelola uang. Kecerdasan ini dibutuhkan agar kita tidak terjebak dalam dua kutub permasalahan keuangan: kekurangan uang atau kelebihan uang(?). Kekurangan uang menyebabkan seseorang selalu disibukkan dengan permasalahan-permasalahan mencari uang, dan ini bisa membawa dirinya menjadi gelap mata dan akhirnya menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang. Kelebihan uang menimpa seseorang yang punya uang melimpah tapi dia tidak mampu mensyukurinya dan tidak berbahagia.

Ketika kita baru lahir, maka skor FQ kita adalah NOL, karena kita sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial kita secara mandiri. Selanjutnya, semakin bertambah usia maka kita akan banyak belajar dan mulai punya kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dan mengurangi ketergantungan terhadap orangtua.

Misal saat SMU kebutuhan kita perbulan sekitar Rp.400ribu. Kemudian kita punya usaha sambilan berjualan makanan kecil di kelas dengan penghasilan bersih Rp.50ribu. Maka skor FQ = 50/400 = 0,125. Selanjutnya ketika kita kuliah, kebutuhan kita meningkat Rp600ribu sebulan. Tapi ketika kita kuliah, kita sudah memiliki banyak link. Sehingga usaha jualan makanan kecil di kelas, meningkat menjadi jualan di kos-kosan, cukup dititipkan di kost teman-teman kita. Dan penghasilan bersih kita menjadi 150ribu per bulan. Maka skor FQ kita menjadi 150/ 600 = 0,25.

Usaha kita terus berlanjut, hingga akhirnya kita menjadi agen makanan kecil yang cukup mapan, dan punya jaringan yang lebih luas sehingga penghasilan per bulan Rp600ribu. Maka skor FQ kita menjadi 600/600 = 1

Skor 1 adalah skor kemandirian, atau juga disebut skor independensi, yang berarti kita telah melampaui tahap dependensi!!!

Jadi mari kita menghitung, berapa skor FQ kita sekarang?! (jadi malu sendiri :) )
Kemudian mari susun langkah untuk menaikkan skor FQ kita! Ambil kertas dan pena, segera tulis plan kita ke depan!

[ Sumber: embah internet ]